oleh: Lailatul Musyarofah (Perempuan PGRI Jatim)
Diundang dalam seminar nasional bertajuk Transformasi Guru Wujudkan Indonesia Maju adalah kesempatan yang tidak datang dua kali. Disamping saya akan bertemu dengan narasumber dari Kementerian (Dr. Baharudin), PB (Dr. Sumardiansyah), dan aktivis pendidikan dari Bali (Eva Juniati, M.Pd), Flores Timur belum pernah saya kunjungi. Sekali dayung dua pulau terlampaui.
Saya punya pengalaman lumayan banyak dalam menerima tamu, dan tidak pernah main-main, karena tamu adalah raja. Namun penerimaan dan sambutan yang saya terima sungguh luar biasa. Upacara adat percikan air kelapa, pemakaian selendang atau sarung tenun, suguhan arak (tentu saja saya tidak ditawari), tidak hanya sekali saya terima. Setiap rangkaian acara memiliki ritual pembuka yang dipercaya membawa keberkahan dan kesuksesan.
Flores Timur melingkupi tiga pulau. Selama tiga hari, kegiatan HUT ke-78 PGRI dan HGN dipusatkan di satu pulau yakni Solor, yang artinya, sekitar 1000 guru dimobilisasi ke satu pulau, diterima dengan berlapis-lapis upacara adat, bertempat tinggal di rumah-rumah warga, dan melebur menjadi satu. Indah bukan main, bagaimana PGRI mampu menggerakkan pengurus, anggota, masyarakat, dan pejabat daerahnya, tentu bukan satu hal yang sederhana: komunikasi, jejaring, leadership, dan restu alam mungkin adalah kuncinya.

Penerimaan masyarakat juga dibuktikan dengan diselenggarakannya “Makan Lamak” pada malam menjelang HUT. Makan Lamak adalah tradisi dimana seluruh penduduk berkumpul dalam satu tempat untuk menyambut tamu. Masyarakat membawa makanan dari rumah, berbagi, dan menerima PGRI sebagai bagian dari mereka, dan memberi berkah bagi Ketua PGRI Kabupaten Flores Timur sebagai pucuk pimpinannya. Ada tampilan seni dari beberapa sekolah, makan malam bersama, dan ditutup dengan tarian massal yang tidak akan berhenti jika tidak diberhentikan tetua adat atau yang mewakili.
Mengalami sendiri terasa sangat berbeda dari sekadar membaca atau menonton. Budaya tanah Lamaholot masih terjaga kemurniannya, dibanggakan oleh penduduknya, dan ditunjukkan kepada tamunya. PGRI begitu membumi, menyatu, sehingga energi untuk kegiatan yang begitu besar dan panjang terasa ringan dan menyenangkan.
PGRI dalam balutan kearifan lokal sungguh mengesankan.